Kembali |
Nomor Perkara | Pemohon | Termohon | Status Perkara |
2/Pid.Pra/2020/PN Blk | Andi Chaidir Syahdad,S.STP M.H Bin A Ismed A. Bube | KEPALA KEPOLISIAN RESORT BULUKUMBA | Minutasi |
Tanggal Pendaftaran | Jumat, 04 Sep. 2020 | ||||
Klasifikasi Perkara | Sah atau tidaknya penetapan tersangka | ||||
Nomor Perkara | 2/Pid.Pra/2020/PN Blk | ||||
Tanggal Surat | Jumat, 04 Sep. 2020 | ||||
Nomor Surat | ..................... | ||||
Pemohon |
|
||||
Termohon |
|
||||
Kuasa Hukum Termohon | |||||
Petitum Permohonan | ANDIASMA RISKI AMALIA SH. & PARTNERS [Text Box: Jalan Let Jend.Hertasning Komp. Permata Hijau Lestari Blok Q No 10, Kota Makassar, Hp: 085396038880, Email : andi.riski270@gmail.com] (ADVOCATES - LEGAL CONSULTANT) Perihal : Surat Permohonan Praperadilan Lampiran : Surat Kuasa Kepada Yth, Ketua Pengadilan Negeri Bulukumba di- Bulukumba Dengan hormat, Yang bertandatangan di bawah ini : CHOERUL MOESLIM,SH
Kesemuanya adalah Advokat/Advokat magang dari kantor Hukum “ANDI ASMA RISKI AMALIA SH. & REKAN”. yang tergabung dalam Organisasi Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), Masa berlaku kartu sampai dengan 31 Desember 2021, Berkedudukan Hukum di Jalan Let Jend Hertasning Komp. Permata Hijau Lestari Blok Q No 10, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 28 Agustus 2020 Bertindak untuk dan atas nama : Nama : Andi Chaidir Syahdad,S.STP.,M.H Bin A.Ismed A.Bube Umur : 27 tahun Jenis kelamin : Laki laki Pekerjaan : ASN Kewarganegaraan : Indonesia Agama : Islam Alamat :Jln.M.Noor Kelurahan Loka kec. Ujungbulu, Kab.BulukumbaProvinsi Sulawesi Selatan; selaku Pemohon Praperadilan Melawan: Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia DAERAH Sulawesi Selatan resort Bulukumba beralamat dijalan Pahlawan poros Bulukumba-Sinjai selanjutnya disebut sebagai TERMOHON ——————————————————————————————– untuk mengajukan permohonan Praperadilan atas Penetapan sebagai tersangka dalam dugaan melanggar pasal 44(1) Jo pasal 5 huruf a Undang Undang RI No.23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga atau pasal 351 ayat (1) KUHPidana.
Adapun yang menjadi alasan permohonan pemohon adalah sebagai berikut : I. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN a. Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. b. Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan : Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; c. Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah: Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; d. Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini. e. Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut :
Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011 f. Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 g. Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.
II. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN TIDAK PERNAH ADA PENYELIDIKAN ATAS DIRI PEMOHON Bahwa sebagaimana diakui oleh Pemohon kejadian yang dimaksud dalam perkara a quo terjadi tanggal 8 juni 2020,sedangkan penetapan tersangka atas diri Pemohon baru diketahui oleh Pemohon pada saat pemohon diminta keterangan tambahan dipolres Bulukumba dan pemohon langsung dimasukkan kedalam sel tahanan dan diberikan surat perintah penahanan dengan nomor SP.Han/47/VI/2020/Reskrim tertanggal 12 juni 2020 serta berdasarkan surat perintah penangkapan nomor SO.Kap/58/VI/2020/Reskrim. Bahwa apabila mengacu kepada surat tersebut, tidak pernah ada surat perintah penyelidikan kepada Pemohon. Padahal sesuai Pasal 1 angka 1 dan 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Polisi memiliki tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan. Bahwa hal itu senada dengan penyelidikan dan penyidikan, menurut Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 101), menjelaskan bahwa dari pengertian dalam KUHAP, “penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi “penyidikan”. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.
Lebih lanjut, Yahya Harahap menyatakan bahwa jadi sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Mungkin penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindak pengusutan” sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana.
Yahya Harahap (Ibid, hal. 102) juga mengatakan bahwa jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan. Penyelidikan atas perkara orang lain tidak dapat langsung dipakai pada penyelidikan atas nama Pemohon.
Bahwa berdasarkan pasal 14 (1) PERKAP Nomor 6 tahun 2019 berbunyi: SPDP sebagaimana dimaksud pada pasal 13 ayat (3) dikirimkan kepada penuntut umum,pelapor/korban,dan terlapor dalam waktu paling lambat 7 hari setelah diterbitkan surat perintah penyidikan.Akan tetapi pemohon atas nama andi chaidir syahdad tidak pernah menerima SPDP maupun surat penetapan tersangka.
Dengan demikian jelas berdasarkan uraian singkat diatas, kegiatan penyelidikan dan penyidikan merupakan 2 hal yang tidak dapat berdiri sendiri dan dapat dipisahkan keduanya. Berkenaan dengan Pemohon dengan tidak pernah diterbitkannya surat perintah penyelidikan atas diri pemohon, maka dapat dikatakan penetapan tersangka dengan atau tanpat surat perintah penyelidikan dapat dikatakan tidak sah dan cacat hukum, untuk itu harus dibatalkan.
TIDAK DIBERIKANNYA SPDP TERHADAP DIRI PEMOHON Bahwa dalam melakukan Penyidikan terhadap Pemohon, Termohon tidak pernah memberikan SURAT PERINTAH DIMULAINYA PENYIDIKAN (SPDP). Oleh karena itu tindakan Termohon tersebut melanggar ketentuan sebagai berikut : PERATURAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2019 Bahwa berdasarkan pasal 14 (1) PERKAP Nomor 6 tahun 2019 berbunyi: SPDP sebagaimana dimaksud pada pasal 13 ayat (3) dikirimkan kepada penuntut umum,pelapor/korban,dan terlapor dalam waktu paling lambat 7 hari setelah diterbitkan surat perintah penyidikan.Akan tetapi pemohon atas nama ANDI CHAIDIR SYAHDAD tidak pernah menerima SPDP maupun surat penetapan tersangka.
TIDAK DILAKUKANNYA GELAR PERKARA TERHADAP PERKARA A QUO Bahwa dalam proses penyidikan, Termohon tidak pernah melakukan GELAR PERKARA. Sementara GELAR PERKARA adalah bagian dari sistem peradilan. Secara formal berdasarkan aturan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP, berdasarkan Aturan Teknis Dalam Petunjuk Pelaksanaan Juklak/5/IV/1984/Ditserse, tanggal 1 April 1984 Tentang Pelaksanaan Gelar Perkara, berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 2003 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, gelar perkara dilakukan oleh penyidik dengan MENGHADIRKAN PELAPOR DAN TERLAPOR. Yang di mana pihak Pelapor dan Terlapor tidak boleh diwakilkan oleh pihak lain. Beradasarkan Pasal 15 Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana (Perkapolri 14/2012) menyatakan bahwa “Gelar Perkara merupakan salah satu rangkaian kegiatan dari penyidikan” Berdasarkan Pasal 45 Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana (Perkapolri 14/2012) menyatakan bahwa “Sebelum dilakukan penahanan maka dapat dilakukan mekanisme gelar perkara”
TERMOHON TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA Bahwa Termohon dalam menetapkan tersangka dalam dugaan melanggar pasal 44 (1) jo pasal 5 huruf a Undang undang Ri nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga atau pasal 351 ayat (1) KUHPidana oleh Polres Bulukumba kepada Pemohon hanya berdasar pada Keterangan Saksi, dan 1 dokumen hasil visum.
Bahwa sebagaimana diketahui melalui pengembalian berkas perkara oleh Kejaksaan negeri bulukumba, satu kali pengembalian berkas perkara dari Kejaksaan negeri bulukumba(P-19) dimana menurut masih terdapat kekurangan salah satunya alat bukti yang harus dilengkapi baik secara formil maupun materiil.
Bahwa berdasar pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014 Frasa “Bukti Permulaan”, Frasa “Bukti Permulaan Yang Cukup” dan “Bukti Yang Cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” sesuai dengan pasal 184 KUHAP.
Bahwa berdasar pada argument-argument sebelumnya, maka Pemohon ragu terhadap terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh Termohon dalam hal menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dalam dugaantindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, sebagaimana dimaksud dalam Pasal pasal 44 (1) jo pasal 5 huruf a Undang undang Ri nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga atau pasal 351 ayat (1) KUHPidana oleh polres Bulukumba kepada Pemohon, mengingat dalam pemeriksaan oleh Termohon, termohon selalu mendasarkan pada alat bukti yang sebelumnya telah dinyatakan belum lengkap oleh Kejaksaan negeri bulukumba dan saksi saksi yang dihadirkan adalah teman teman pelapor yang juga bertugas dipolres bulukumba sekaligus menjadi penyidik pembantu dalam perkara a quo dan pelapor dalam hal ini adlah andi tenri nurul inayah juga sekaligus sebagai penyidik pembantu dalam perkara a quo sehingga kualitas alat bukti sangat diragukan dan patut diduga ada penyalahgunaan kewenangan,bagaimana mungkin seorang pelapor juga ditugaskan sebagai penyidik pembantu tentu hal ini jelas bertentangan dengan kode etik POLRI.
Bahwa berdasarkan pasal 1 angka 11 jo.pasal 14 ayat (1) PERKAP Nomor 12/2009 prosedur penyelesaian perkara termasuk penyidikan dan penetapan tersangka harus dilakukan secara professional ,proporsional dan transparan agar tidak ada penyalah gunaaan kewenangan dan lebih jauh tidak semata mata bertendensi menjadikan seseorang menjadi tersangka. Berdasar pada uraian diatas, maka tindakan Pemohon yang tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014, maka dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum. PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM DAN PELANGGARAN TERHADAP KODE ETIK POLRI Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan. Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu memgeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.
Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’
Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang di maksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas).
Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi : – ditetapkan oleh pejabat yang berwenang – dibuat sesuai prosedur; dan – substansi yang sesuai dengan objek Keputusan Bahwa sebagaiman telah Pemohon uraikan diatas, bahwa Penetapan tersangka Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan-perundang undangan yang berlaku. Sehingga apabila sesuai dengan ulasan Pemohon dalam Permohonan A Quo sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut : “Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah” Bahwa tindakan termohon yang menempatkan Andi Tenri Nurul Inayah selaku pelapor yang sekaligus sebagai penyidik pembantu dalam perkara a quo adalah merupakan tindakan kesewenang wenangan yang dilakukan oleh termohon.
Bahwa tindakan termohon menempatkan ANDI CITRA TRISNANINGSI dan ANDI HANIFAH NURDIN selaku SAKSI juga sebagai PENYIDIK PEMBANTU dalam perkara a quo jelas bertentangan dengan pasal 14 peraturan kepala kepolisian Republik Indonesia nomor 14 tahun 2011 tentang kode etik Profesi kepolisian Negara republic Indonesia huruf (m) yang berbunyi sebagai berikut : menangani perkara yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon dengan menetapkan Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Majelis hakim Pengadilan Negeri buaulukumba yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.
Bahwa karena Termohon tidak melakukan prosedur-prosedur sesuai dengan ketentuan Perundang-Undangan, maka tindakan Termohon menunjukkan ketidak petuhan akan hukum, padahal Termohon sebagai aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia In Casu dalam kualitas sebagai penyidik seharusnya memberikan contoh kepada warga masyarakat, dalam hal ini Pemohon dalam hal pelaksanaan hukum. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan sebagai berikut : Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 19 ayat (1) : “Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisan Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan serta menjunjung tinggi HAK ASASI MANUSIA” Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Pasal 7 ayat (3) : “Dalam melakukan tugasnya sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), Penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku” Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip Dan Standar HAM Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 8 ayat (1) : ”sesuai dengan prinsip menghargai dan menghormati HAM, setiap anggota POLRI dalam melaksanakan tugas atau dalam kehidupan sehari-hari wajib untuk menerapkan perlindungan dan penghargaan HAM sekurang-kurangnya : Menghormati martabat dan HAM setiap orang |
||||
Pihak Dipublikasikan | Ya |